Hari Tani 2021: Petani Menangis di Negeri Agraris
Oleh Ardhiatama Purnama Aji dan Cahya Fadilah
Biasanya, kita memperingati Hari Tani pada 24 September setiap tahunnya. Peringatan ini tentunya tak tiba-tiba disepakati begitu saja. Tapi, Hari Tani diperingati tiap tahun karena ada tonggak penting dalam lintasan sejarahnya, yakni momentum pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) №5 Tahun 1960 (Aida, 2020).
Kala itu, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) sepakat dengan akumulasi dan pelbagai godokan tentang skema reforma agraria, sejak pendirian “Panitia Agraria Yogya” (1948), “Panitia Agraria Jakarta” (1951), “Panita Soewahjo” (1955), “Panitia Negara Urusan Agraria (1958), “Rancangan Soenarjo” (1958), hingga “Rancangan Sadjarwo” (1960) sebagai opsi/pertimbangan pamungkas (Aida, 2020).
UUPA kerap dimaknai telah membawa semangat untuk maujudkan UUD 1945 Pasal 33 Ayar 3, yang berbunyi “bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya”. Atau pula, menggantikan Hukum Agraria Kolonial, yang mensentralisasi penggunaan tanah untuk disewakan kepada usahawan Eropa selama kurun 75 tahun (van Zanden & Marks, 2012).
Keadaan lanskap ekologis di seantero Nusantara memang berimplikasi pada keberadaan aktivitas manusia. Selain hubungan timbal-balik antara laut dan pulau, ada hal lain yang cukup menonjol. Hilir sungai, dataran rendah dengan pegunungan, tanah lapang dengan hutan rimbun, rawa-rawa dengan lahan yang mudah diakses menghasilkan konfigurasi spasial ekonomi. Konfigurasi spasial tersebut beriringan pula dengan perkembangan teknologi dan transportasi modern (Dick, Houben, Lindblad, & Thee, 2002).
Iklim khatulistiwa dan pola angin muson menjadi sangat vital bagi keadaan agraris Indonesia sejak masa pra-aksara. Sejumlah faktor geografis harus dicatat di sini. Area vulkanis di Jawa tidak sama dengan pegunungan solid nan padat di Sumatera. Iklim Jawa, yang lebih jinak dibanding Sumatera atau Kepulauan Sunda Kecil, memudahkan penanaman padi yang basah (Dick, Houben, Lindblad, & Thee, 2002).
Pada era kini, penyelesaian masalah petani di Indonesia ibarat menegakkan sehelai benang kusut. Permasalahan petani belum sejahtera di negeri ini tentu disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi kunci. Salah satu faktor kuncinya yaitu politik di Indonesia yang belum mampu sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan petani (antaranews.com, 2021).
Walaupun sudah berganti kabinet di pemerintahan namun sampai saat ini masih belum menjabarkan kebijakan yang baik demi kesejahteraan petani di Indonesia. Selain itu permasalahan lahan juga menjadi faktor kunci, dimana akhir-akhir ini marak terjadi alih fungsi lahan serta luas lahan pertanian semakin berkurang (kompas.com, 2021).
Indonesia yang dahulu dikenal dengan negara agraris dimana hasil buminya melimpah, sekarang sudah hilang masa kejayaannya. Hal ini karena kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan tidak berfokus pada permasalahan yang dihadapi petani di lapangan. Pemerintah seharusnya bisa memberikan solusi konkrit untuk mendorong produktivitas petani supaya lebih sejahtera dan petani menjadi berdikari. Walaupun pemerintah saat ini memberikan subsidi pupuk bagi petani namun itu belum mampu mensejahterakan petani.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengkrititik kebijakan subsidi pupuk yang gagal meningkatkan produksi pangan hasil pertanian. Di sisi lain, kebijakan tersebut justru meningkatkan angka impor pangan hingga 19,6 juta ton dalam waktu 10 tahun (liputan6.com, 2021). Subsidi pupuk yang seharusnya mampu mendongkrak produksi pertanian justru menurunkan produksi.
Bahkan menimbulkan permasalahan baru, di mana hal ini diperparah dengan meningkatnya impor pangan yang membuat petani semakin terpuruk. Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan persoalan ini bisa jadi karena sebagian besar pupuk subsidi yang disediakan pemerintah sejak 1970 berbahan kimia yang menyebabkan tanah menjadi tak subur, keras, dan tandus. Produksi sulit meningkat karena tanah sudah jenuh (tirto.id, 2021).
Kesenjangan kepemilikan tanah antara petani dan industri ekstraktif pun cukup signifikan. Sebesar 61,46% daratan dimiliki perusahan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Dan naasnya, 68% lahan dikuasai oleh 1% penduduk Indonesia (Sembiring, Kausan, & Suryani, 2021). Hal ini kontradiktif dengan kebijakan Perhutanan Sosial oleh pemerintah. Oktober 2020, hanya 4,2 juta hektar area hutan yang sudah didistribusi kepada 870.746 keluarga (mediaindonesia.com).
Pada 2020, ketika pandemi Covid-19 mendera, keadaan menyedihkan tak cuma maujud krisis kesehatan, tapi juga berupa konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merekam 241 kasus konflik agraria di tanah dengan luas 624.272,711 hektar, di 359 desa/sederajat, dan melibatkan 135.337 kepala keluarga. Dari 241 kasus konflik agraria tersebut, 122 di sektor perkebunan, 41 di sektor kehutanan, 30 di sektor infrastruktur, 20 di sektor properti, 12 di sektor tambang, 11 di sektor fasilitas militer, 3 di sektor maritim, dan 2 di sektor agribisnis (KPA, 2020).
Di Pulau Jawa saja, konflik agraria masih bisa kita temui hingga sekarang. Para petani Kendeng misalnya masih terus berjuang mempertahankan Pegunungan Kendeng — sebagai sumber air dan lahan pertanian, dari bayang-bayang industri ekstraktif semen. Di pesisir selatan Jawa, para petani Urutsewu menghadapi perampasan dan pengangkangan hukum agraria oleh aparat militer. Di Desa Wadas Purworejo, para petani harus mati-matian mempertahankan lahan desanya agar tak ditambang untuk memenuhi pembangunan Bendungan Bener.
Referensi
Aida, N. R. (2020, September 24). Sejarah Hari Tani Nasional, Diperingati Setiap 24 September. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/24/132200865/sejarah-hari-tani-nasional-diperingati-setiap-24-september?page=all
Dick, H., Houben, V., Lindblad, T., & Thee, K. W. (2002). The Emergence of a National Economy: an Economic History of Indonesia 1800–2000. Crows Nest: Allen & Unwin.
KPA. (2020). Catahu 2020 Edisi I: Laporan Konflik Agraria di Masa Pandemi dan Krisis Ekonomi. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria.
Sembiring, B., Kausan, B., & Suryani, T. (2021). Ekonomi Nusantara: Tawaran Solusi Pulihkan Indonesia. Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI.
van Zanden, J. L., & Marks, D. (2012). An Economic History of Indonesia, 1800–2012. London and New York: Routledge.
https://www.antaranews.com/berita/1926696/belajar-memahami-masalah-petani-indonesia diakses pada 22 September 2021
https://money.kompas.com/read/2021/05/25/155829326/beberkan-masalah-di-industri-pertanian-moeldoko-petani-pasti-kesulitan?page=all diakses pada 22 September 2021
https://mediaindonesia.com/humaniora/354102/tiga-pencapaian-presiden-joko-widodo-di-bidang-lingkungan-hidup diakses pada 22 September 2021
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4455680/subsidi-pupuk-gagal-dongkrak-produksi-pangan-asosiasi-impor-naik-196-juta-ton diakses pada 22 September 2021
https://tirto.id/amburadulnya-kebijakan-subsidi-pupuk-yang-membuat-jokowi-kesal-f9br diakses pada 22 September 2021