Hidup dalam Kabut Kebakaran Lahan Gambut
Oleh Ilmi Maulina Dewi dan Khofifah Shinta Mamnukha, Staf Kementerian Lingkungan Hidup BEM KM UNNES 2021
Pada tahun 2019, tagar #RiauDibakarBukanTerbakar ramai beredar di media sosial. Hal itu muncul dari kegelisahan warga Riau karena kabut asap kebakaran hutan dan lahan begitu pekat. Kabut asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatera, menyebabkan kualitas udara tak sehat bahkan berbahaya. Sesuai pemantauan BMKG, partikel udara makin buruk, sampai kategori sangat berbahaya. Berbagai protes dari masyarakat muncul.
Dilansir dari Mongabay.co.id, Syahrul Fitria, peneliti dari Yayasan Auriga mengatakan, persoalan penanganan karhutla pasca 2015 memang jadi sorotan. Pemerintah mengeluarkan berbagai aturan mengantisipasi karhutla, seperti membuat lembaga khusus untuk restorasi gambut, Badan Restorasi Gambut. Menurut catatan kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luasan hutan dan lahan yang terbakar sepanjang 2015 mencapai 2,61 juta hektar atau hampir setara dengan akumulasi luas karhutla sepanjang 2016–2019 yaknni 2,78 juta hektar.
Pemerintah selalu mengatakan dalam upaya penanganan karhutla, sudah melakukan berbagai aksi koreksi dan efek jera bagi pelaku. Sayangnya, bukti pernyataan itu bisa terlihat saat kemarau, karhutla terjadi lagi. Pemerintah kurang terbuka mengenai informasi restorasi gambut. Yayasan Auriga mengatakan pernah meminta lokasi restorasi kepada KLHK, revisi rencana kerja umum dan dokumen pemulihan yang jadi kewajiban para pemegang konsesi perkebunan kayu di lahan gambut, tetapi tak pernah mendapat respon. Inkonsistensi tata kelola gambut pun tercium. Syahrul mengatakan, pemerintah harusnya membuka data, apalagi untuk perusahaan yang tahun 2015 terbukti membakar dan pada tahun 2019 membakar lagi, seharusnya tak ada alasan pemerintah mempertahankan konsesi perusahaan.
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead, dalam Republika.co.id menyebutkan, luas lahan gambut yang terbakar selama tahun 2019 berdasarkan data terakhir BNPB per tanggal 30 September, mencapai 86 ribu hektare, atau sebesar 26 persen dari total luas lahan terbakar yakni 328.724 hektare. Mirisnya, 53 ribu hektare dari total lahan terbakar itu merupakan lahan target restorasi BRG.
Pada awal 2020, kebakaran lahan gambut seluas satu hektare terjadi di Riau, tepatnya di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Dilansir dari liputan Metro TV (2021), hampir tiap tahun kebakaran hutan terjadi di lokasi tersebut. Pertengahan tahun 2020, seluas 6 hektare lahan gambut terbakar di Desa Reusak, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. Memasuki tahun 2021, kebakaran lahan gambut kembali terjadi di Kabupaten Aceh Barat, kali ini api telah menghanguskan 8 hektare lahan milik warga. Selain itu, di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, telah tercatat 7 kasus kebakaran lahan gambut dengan total luas 40 hektare sepanjang musim kemarau 2021 (Januari-Februari).
Kebakaran lahan gambut menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini dan kerap kali terulang tiap tahunnya. Masalah ini patut mendapat perhatian serius dari pemerintah dan melibatkan peran serta masyarakat. Lahan gambut sendiri merupakan tanah yang tersusun dari bahan-bahan organik yang menumpuk selama ribuan tahun hingga membentuk endapan tebal. Luas lahan gambut di Indonesia berkisar antara 16–17 juta hektar (Polak, 1975; Andriesse, 1988), dengan persebaran terbanyak berada di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang disengaja maupun akibat kelalaian dalam menggunakan api (Kepala BNPB, Doni Monardo, 2019). Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat kebakaran rawan terjadi, seperti gejala El Nino, kondisi fisik gambut yang terdegradasi, dan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Motif kebakaran lahan yang disebabkan oleh manusia didasari faktor ekonomi. Mereka berdalih, pembukaan lahan dengan membakarnya adalah cara yang paling mudah, murah, serta lebih efektif (BNPB, 2013). Hasil penelitian JICA (2013) menunjukkan bahwa kebakaran lahan juga dipengaruhi oleh faktor sosial seperti kontak sosial yang rendah, masyarakat membiarkan api tersulut — hingga menjadi kebakaran, serta masih kurangnya kepedulian untuk melaporkan kejadian kebakaran kepada pihak berwajib.
Lalu mengapa lahan gambut mudah terbakar?
Gambut termasuk rawa atau merupakan lahan basah. Lahan gambut mengandung dua kali lebih banyak karbon dari hutan tanah mineral yang ada di seluruh dunia. Ketika terganggu atau dikeringkan, karbon yang tersimpan dalam lahan gambut dapat terlepas ke udara dan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Hanya 3% dari luas daratan di dunia berupa lahan gambut. Namun, lahan gambut dunia mampu menyimpan 550 gigaton karbon atau setara dengan 30% karbon yang tersimpan dalam tanah di dunia. Luas lahan gambut di Indonesia hampir setara dengan 1,6 kali Pulau Jawa (Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, 2011). Lahan gambut di Indonesia sendiri menyimpan sekitar 57 gigaton karbon atau 20 kali lipat karbon tanah mineral biasa.
Dalam analisis World Resources Institute (WRI), pengeringan satu hektar lahan gambut di wilayah tropis akan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton CO2 setiap tahun atau setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin. Kebakaran tidak hanya mengeluarkan karbon dioksida, tapi juga metana, jenis gas rumah kaca yang 21 lebih berbahaya dari karbon dioksida. Kebakaran lahan gambut dapat mengeluarkan metana hingga 10 kali lipat. Selain itu, kebakaran lahan gambut berdampak kepada pemanasan global, bahkan mencapai 200 kalilipat lebih banyak dari kebakaran lahan jenis lain.
Hubungan kebakaran hutan dengan pemanasan global
Pemanasan global adalah meningkatnya suhu di permukaan bumi akibat emisi karbon ke atmosfer lebih banyak daripada pengikatan karbon oleh tumbuhan sehingga konsentrasi karbon di atmosfer meningkat sehingga menyebabkan efek rumah kaca. Makhluk hidup mengeluarkan karbon ketika melakukan respirasi. Proses penguraian tumbuhan dan hewan juga mengeluarkan karbon ke atmosfer. Bahan bakar yang berasal dari fosil juga mengeluarkan karbon yang mana karbon kembali ke atmosfer.
Tersebarnya asap, emisi gas karbon dioksida, dan gas-gas lain ke udara akibat kebakaran hutan berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim. Hutan menjadi gundul sehingga tak mampu lagi menampung air saat musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya banjir dan tanah longsor.
Adanya siklus karbon bertujuan agar tidak terjadi pemanasan global. Diperlukan adanya penyerapan dari atmosfer melalui tumbuhan dalam jumlah besar, karena tumbuhan dalam proses fotosintesisnya memanfaatkan karbon. Oleh karena itu, pengembangan area hijau, penghutanan kembali (reboisasi), dan pelestarian hutan sangat diperlukan.
Dampak kebakaran hutan
Kebakaran hutan telah menimbulkan berbagai masalah mulai dari kesehatan hingga sektor ekonomi. Deforestasi memicu kerusakan ekologi, menurunnya keanekaragaman hayati, dan asap yang mengganggu kegiatan masyarakat. Kerugian ekologis yang dirasakan yaitu hilangnya manfaat dari potensi hutan dan tidak tersedianya udara serta air bersih. Selain itu, timbul masalah kesehatan masyarakat seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), asma bronkial, bronkitis, pneumonia, iritasi mata dan kulit. Pada dampak sosial yaitu hilangnya mata pencaharian, rasa keamanan dan keharmonisan masyarakat lokal (Kantor Meneg LH., 1998). Kebakaran hutan juga dapat menghasilkan racun dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan kemandulan bagi wanita (Tempo, 27 Juni 1999). Sedangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan dari kebakaran hutan meliputi biaya pengobatan masyarakat, bermasalahnya jadwal transportasi, turunnya produksi industri dan perkantoran, serta anjloknya bisnis pariwisata.
Referensi
Antara. 2020. “6 Hektare Lahan Gambut di Aceh Barat Terbakar”. https://tirto.id/6-hektare- lahan-gambut-di-aceh-barat-terbakar-fZz2
Arumingtyas, Lusia. 2019. “Bencana Asap di Sumatera dan Kalimantan, Mengapa Lahan Gambut Terus Terbakar?”. https://www.mongabay.co.id/2019/09/15/bencana-asap-di-sumatera-dan- kalimantan-mengapa-lahan-gambut-terus-terbakar/
Humas KSDA. 2018. “KETERKAITAN PEMANASAN GLOBAL DAN SIKLUS
KARBON”. http://ksdasulsel.menlhk.go.id/post/keterkaitan-pemanasan-global-dan- siklus-karbon
Khusnulkhatimah, Suliana. 2020. “Menolak Lupa Karhutla Hebat 2015”. https://tirto.id/menolak- lupa-karhutla-hebat-2015-f6AE
Nurdin, Syahdan. 2021. “Tahun 2021: Lahan Gambut di Pontianak 40 Hektare Terbakar” https://id.berita.yahoo.com/tahun-2021-lahan-gambut-di- 033924153.html?guccounter=1&guce_referrer=aHR0cHM6Ly93d3cuZ29vZ2xlLmNv bS8&guce_referrer_sig=AQAAAFCr1hpnVpXRxlUY0aXznBg4ye40Ass1B0jEynF1p6hKkJQ5it3avlgnFOymrMJsb91Mlm84e0oGzlqeKbSVilgisEKPVje2sreZAuU8MjZu6 aVUQhmpqZTw09J5FSudZ8wn1U1HUrHW9YW-9OBvaspzgY0- 0sfiQbDi_L3g_8q_#:~:text=VIVA%20–%20Pemerintah%20Kota%20Pontianak%2C%20Provinsi,sepanjang%20musim%20ke marau%20tahun%202021.
Pantaugambut.id. _ . “Lahan gambut menjaga perubahan iklim”. https://pantaugambut.id/pelajari/peran-penting-lahan-gambut/lahan-gambut-menjaga- perubahan-iklim
Rasyid, Fachmi. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal Lingkar Widyaiswara. 1(4): 47–59. Diakses dari https://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47–59.pdf
Sawerah, Siti, Pudji Muljono, dan Prabowo Tjitropranoto. 2016. Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan Kebakaran Lahan Gambut di Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Penyuluhan. 12(1): 89–102.
Tacconi, Luca. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. CIFOR.
Tanjung, Idon. 2020. “Awal 2020, Karhutla di Riau Hanguskan 1 Hektar Lahan Gambut”. https://regional.kompas.com/read/2020/01/02/13151131/awal-2020-karhutla-di-riau- hanguskan-1-hektar-lahan-gambut
Yolanda, Friska. 2019. “Karhutla 2019 Hanguskan 86 Ribu Hektare Lahan Gambut”. https://nasional.republika.co.id/berita/pyr15s370/karhutla-2019-hanguskan-86-ribu- hektare- lahan-gambut
Yulinnas, Syifa. 2021. “In Picture: Kebakaran Lahan Gambut di Nagan Raya Aceh”. https://www.republika.co.id/berita/qp9x3q314/kebakaran-lahan-gambut-di-nagan-raya-aceh