Mendudukkan REDD+ sebagai Solusi Semu Perubahan Iklim

Walah Unnes
6 min readNov 19, 2021

--

Peta negara pemberi (hijau) dan penerima (merah) insentif dalam REDD+ (https://egsa.geo.ugm.ac.id/)

Oleh Ardhiatama Purnama Aji

Belakangan, ihwal perubahan iklim acapkali memenuhi ruang-ruang dunia maya. Sejumlah organisasi seperti Greenpeace, Jeda Iklim, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Extincion Rebellion menyiarkan warita tentang darurat iklim lewat akun Instagram mereka masing-masing secara istikamah.

Sehimpun organisasi tersebut mengatakan, perubahan iklim telah mengakibatkan berbagai bencana ekologis macam peningkatan temperatur bumi, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan kenaikan muka air laut. Sementara itu, perubahan iklim disebabkan oleh gas rumah kaca yang membuncah dan terperangkap di lapisan statosfer.

Gas rumah kaca merupakan beraneka gas yang bisa menangkap radiasi matahari (yang mestinya terpantul oleh bumi). Karena terperangkap di statosfer, gas-gas tersebut meminimalisasi kemampuan bumi memantulkan radisi matahari. Jenis-jenis gas yang termasuk dalam gas rumah kaca adalah karbon dioksida, metana, nitrat oksida, perfluorokarbon, hidrofluokarbon, dan sulfur heksafluorida (Dewan Nasional Perubahan Iklim, 2013).

Dalam konteks perubahan iklim, Indonesia memiliki posisi yang strategis karena mempunyai area hutan seluas 130 juta Ha yang dapat memproduksi oksigen dan menyimpan karbon dioksida (Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, 2012). Dengan luas area hutan sebegitu besar, Indonesia ditasbihkan sebagai negara yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Pun laju deforestasinya sedemikian tinggi, peringkat kedua di dunia (Astuti, 2013). Padahal, Indonesia bersama Brasil dan Kongo mempunyai stok penyimpanan gas rumah kaca berupa hutan tropis yang luas tersebut.

Berdasarkan pra-kondisi tersebut, upaya konservasi hutan tropis di negara berkembang menjadi krusial bagi negara maju. Mereka (negara maju dan berkembang) pun mengusulkan program Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut Plus (REDD+). REDD+ ialah mekanisme pemberian insentif ekonomi bagi negara berkembang untuk mengelola hutan berkelanjutan. Negara berkembang perlu mengelola hutan guna mengurangi emisi karbon atau gas rumah kaca lain (Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, 2012).

Pelaksanaan REDD+ berbasiskan sejumlah peraturan dan undang-undang (UU) berkait tata ruang, kehutanan, dan lingkungan hidup. Peraturan tersebut di antaranya, UU №26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU №41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU №32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perpres №61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, serta Perpres №71 Tahun 2011 tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca (Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, 2012).

Sisi lain, negara maju seperti Jepang dianggap turut bergabung mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menanamkan investasi/membeli pengurangan emisi dan mentransfer teknologi kepada negara berkembang seperti Indonesia. Mekanisme pembagian kepemilikan kredit karbon dalam suatu proyek sangat bergantung kepada jenis dan jumlah kapital yang diinvestasikan serta kesepakatan dua belah pihak (Dewan Nasional Perubahan Iklim, 2013).

Banyak pihak menyebut, REDD+ menjelma “win-win solution” yang dapat mengintegrasikan agenda penyelamatan ekologis, penghempasan kemiskinan, dan kapitalisme dalam satu tarikan napas. Lebih jauh, mekanisme REDD+ dijalankan dengan percobaan eksperimental besar maujud payments for ecosystem service (PES). Kira-kira, PES dapat diartikulasi dalam pernyataan: “jika tak membayar, ia berarti tak peduli” (Haekal & Suci, 2018).

Ciri-ciri di atas mengafirmasikan REDD+ sebagai permisalan yang vulgar daripada wacana modernisasi ekologi, diskursus yang menyokong pemahaman: krisis ekologis dapat dipecahkan lewat transformasi bidang bisnis menuju keberlanjutan dan lebih hijau. Siasat teknokrasi pasar macam sistem insentif itu dipakai demi mendorong perubahan tingkah laku berbagai pihak, utamanya pelaku korporasi (Astuti, 2013).

Lebih jauh, teknologi “ramah” lingkungan dan skema perlindungan sosial masuk dalam praktik industri ekstraktif agar menjelma bisnis yang, seolah-olah, lebih beretika. Lewat ungkapan bisnis etis tersebut, berbagai pelaku membangun REDD+ sebagai kuda tunggang untuk meraih agenda masing-masing. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) — yang menaruh perhatian kepada ihwal konservasi — seperti World Wide Fund for Nature (WWF) dan The Nature Conservancy (TNC) berduyun-duyun menjadikan REDD+ sebagai sumber pendanaan ketika komitmen negara pendonor mulai meredup (Astuti, 2013).

Satu sisi, REDD+ dibangun oleh sebuah wacana sebagai strategi neoliberalisasi unsur alam untuk mengakumulasi laba dengan mengomodifikasi jasa lingkungan. Wacana tersebut mengandung pembahasan mendalam dan memungkinkan proses marginalisasi serta pengabaian hak komunitas adat dan komunitas lain yang menyandarkan pemenuhan hidup kepada hutan. Lebih-lebih, apabila melihat pengalaman akuisisi sumber penghidupan rakyat di negara berkembang atas nama pembangunan (Astuti, 2013).

Sejumlah polemik mendasar pun urung diselesaikan, seperti sengketa garis kawasan hutan, konflik kepemilikan lahan (tenurial), korupsi bidang kehutanan, dan perencanaan tata ruang provinsi yang masih compang-camping. Hal itu maujud sebagai domain keruwetan ekologi politis yang akan bersinggungan, bahkan berkelindan dengan program REDD+ (Astuti, 2013).

REDD+ dapat ditelusuri lewat memandang beraneka wacana yang digunakan untuk melegitimasi pembentukan tata kelola mutakhir interaksi manusia-hutan yang berbasiskan logika neoliberal. Wacana dengan gincu pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau kerap digunakan untuk mengamini penerapan REDD+ di Indonesia. Hutan dan pohon diwujudkan sebagai pemodelan komputer, dapat dipetakan dan diukur menurut muatan karbon yang bisa disimpan (Astuti, 2013).

Keikutsertaan pemerintah dalam skema REDD+ mulanya menjadi strategi politis yang ditentang keras oleh lapisan masyarakat sipil. LSM seperti Walhi, Solidaritas Perempuan, Koalisi Anti Utang (KAU), dan Serikat Petani Indonesia (SPI) enggan menerima konsep dasar REDD+. Mereka beranggapan, REDD+ menjelma jalan negara maju untuk lari dari tanggung jawab lewat membeli banyak hak emisi gas rumah kaca dari negara berkembang yang mempunyai hutan luas (Astuti, “REDD+ sebagai Strategi-Strategi Kepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia: Sebuah Perspektif Foucauldian”, 2013).

Skema REDD+ yang sarat akan orientasi pasar dianggap sebagai skema yang asal-asalan. Negara-negara dengan bejibun modal dan berandil kepada pemanasan global harus membayar negara berkembang yang memiliki hutan nan luas. Tak pelak, mekanisme REDD+ dapat kita labeli sebagai usaha cuci tangan oleh negara penyumbang gas rumah kaca secara besar-besaran (Haekal & Suci, 2018).

Jangankan melaksanakan konservasi hutan, negara-negara berkembang justru dikepung oleh pemodal-pemodal besar yang berupaya mengakuisisi lahan, mengusir petani beserta masyarakat adat demi perputaran arus kapital. Pada 2011, Oxfam (organisasi internasional non-pemerintah) menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan hutan, seluas 227 Ha lahan telah dijual, disewakan, atau diserah-kelolakan lewat sistem perizinan dan transaksi berskala raksasa (Haekal & Suci, 2018).

Ketimpangan penguasaan tanah pun tampak secara vulgar di Indonesia. Pelaku partikelir kehutanan, perkebunan, dan pertambangan menguasai 61,46% luas daratan. Sementara itu, 68% luas lahan dimiliki oleh hanya satu persen dari penduduk Indonesia (Sembiring, Kausan, & Suryanti, 2021). Pada 2016, pemerintah turut menyerahkan 6.772.633 Ha area hutan kepada 702 perusahaan, mayoritas di sektor perkebunan sawit (Walhi Nasional, n.d.).

Angka 6,7 juta hektare tersebut dirasa kelewat besar dibanding alokasi lahan perhutanan sosial yang hanya seluas 4,2 juta hektare bagi 870.746 keluarga (Pertiwi, 2020). World Resource Institute (WRI) ikut menerbitkan data tahun 2000–2015 bahwa sekira 55 persen kehilangan hutan (lebih dari 4,5 juta Ha) berlangsung di kawasan konsesi. Dalam kawasan tersebut, deforestasi dilakukan untuk ekspansi perkebunan sawit, perkebunan serat kayu, pertambangan, dan penebangan selektif (Haekal & Suci, 2018).

Pemakaian dalih penyelamatan lingkungan agar REDD+ berjalan disebut dengan “green grabbing”, suatu komponen neoliberal guna mengampanyekan konservasi lingkungan dan rehabilitasi alam sebagaimana mestinya, sedia kalanya. Green grabbing ini maujudkan privatisasi, akumulasi primitif, atau pula perampasan tanah dan pengucilan masyarakat lokal dari sumber daya alam berdasar pada kredensial hijau (Haekal & Suci, 2018).

Akhirnya, REDD+ bisa diartikan sebagai accumulation by dispossesion, sebab mengikutsertakan privatisasi dan komodifikasi hutan. Alih-alih menyelamatkan lingkungan, REDD+ justru mengakumulasi modal dengan skema/mekanisme pasar. Atas kedudukannya tersebut, REDD+ bisa dikatakan sangat kompatibel dengan anthropocene, sebab ia terlalu terkungkung kepada Pasar Semu Karbon.

Konservasi hutan yang dimaksudkan REDD+ bersalin rupa menjadi instrumen perampasan tanah. REDD+ menjelma jargon omong kosong, karena proses deforestasi masih acapkali berlangsung atas nama pembangunan dan demi arus perputaran kapital (Haekal & Suci, 2018).

Referensi

Astuti, R. (2013). “Politik Ekologi REDD+: Kontestasi Politik, Modal, dan Pengetahuan”. Wacana, 15(30), 3–13.

Astuti, R. (2013). “REDD+ sebagai Strategi-Strategi Kepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia: Sebuah Perspektif Foucauldian”. Wacana, 15(30), 71–97.

Dewan Nasional Perubahan Iklim. (2013). Mari Berdagang Karbon! Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta.

Haekal, L., & Suci, P. E. (2018). “Kuasa dan Eksklusi: REDD+ sebagai ‘Climate Leviathan’ dan Alih Fungsi Lahan di Indonesia”. Balairung, 1(1), 110–125.

Pertiwi, S. (2020, Oktober 20). Tiga Pencapaian Presiden Joko Widodo di Bidang Lingkungan Hidup. Retrieved from Mediaindonesia.com: https://mediaindonesia.com/humaniora/354102/tiga-pencapaian-presiden-joko-widodo-di-bidang-lingkungan-hidup

Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia. (2012). Strategi Nasional REDD+. Jakarta.

Sembiring, B., Kausan, B., & Suryanti, T. (2021). Ekonomi Nusantara: Tawaran Solusi Pulihkan Indonesia. Jakarta: Eksekutif Nasional Walhi.

Walhi Nasional. (n.d.). Proyek REDD+ Bukan Solusi Perubahan Iklim, Percepat Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat. Retrieved from Walhi.or.id: https://www.walhi.or.id/proyek-redd-bukan-solusi-perubahan-iklim-percepat-pengakuan-wilayah-kelola-rakyat

Catatan: tulisan ini disampaikan dalam Diskusi “Carbon Trading: Solusi atau Ilusi” yang diselenggarakan BEM FIS Unnes, Lingkar Diskusi Geosfer, dan Hima Geografi Unnes pada 19 November 2021.

--

--

Walah Unnes
Walah Unnes

Written by Walah Unnes

Media Informasi Kementerian Lingkungan Hidup BEM KM UNNES 2022

No responses yet