Penghapusan Limbah FABA dari Daftar Golongan Limbah B3, Apakah Langkah Tersebut Sudah Tepat?

Walah Unnes
6 min readMar 25, 2021

--

Oleh: Khofifah Shinta Mamnukha dan Nora Amalia, Kementerian Lingkungan Hidup BEM KM UNNES 2021

Ilustrasi Batu Bara dari Tambang (shutterstock)

Laju industrialisasi yang meningkat, ledakan populasi, dan urbanisasi spontan merupakan sebagian kecil penyebab permasalahan lingkungan yang terjadi. Polemik permasalahan lingkungan tak pernah luput dari persoalan limbah, misalnya limbah hasil industri. Persoalan serius di era industrilialisasi menjadikan urgensi penanganan dan pengelolaan limbah hasil industri harus tepat, yang artinya pelaku usaha industri harus jeli dalam memperhatikan proses pembuangan limbah dari awal hingga sudah siap untuk dibuang.

Baru-baru ini, pemerintah Indonesia menciptakan regulasi baru mengenai limbah yang menimbulkan kontroversi di kalangan pakar lingkungan. Dilansir dari CNBC Indonesia (2021) melalui aturan turunan dari UU Cipta Kerja atau Omnibus law, Presiden Joko Widodo secara resmi mencabut Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dari daftar limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Penghapusan itu tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keputusan ini pun menuai protes di kalangan aktivis lingkungan, karena limbah FABA dinilai masih tergolong limbah yang mematikan. Jadi apa sih itu limbah FABA?

Mari Mengenal Limbah FABA, Fly Ash and Bottom Ash atau yang sering kita sebut dengan FABA adalah limbah padat hasil dari proses pembakaran batubara yang kerap digunakan oleh Industri Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Menurut Winarno, dkk (2019) Fly Ash adalah abu batubara yang sangat halus berasal dari aktifitas pembakaran batubara di dalam furnace dari suatu boiler pembangkit. Kandungan Fly Ash didominasi dengan unsur racun seperti arsenic, barium, boron, cadmium, kromium, kobal, tembaga, selenium, dan sebagainya. Sedangkan Bottom Ash atau abu dasar merupakan hasil pembakaran batu bara yang memiliki ukuran lebih besar dan lebih berat daripada fly ash (Sulistyowati, 2013).

Hasil pengolahan batu bara yang dibakar di PLTU memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO2. Polutan tersebut merupakan kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi Partikulat (PM2.5), dimana dapat memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsen. Emisi tersebut meningkatkan resiko kematian dini akibat penyakit mematikan seperti stroke, kanker, paru-paru, jantung, dan pernafasan (Greenpeace, 2016).

Apa Kata Pemerintah? Pemerintah terus meng-klaim bahwa berdasarkan kajian scientific yang telah dilakukan, abu batu bara ini bukan termasuk golongan limbah B3. Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PLSB3) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam wawancaranya mengatakan, “FABA itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah, serta restorasi tambang. Disisi lain, KPK dimana menjadi salah satu Lembaga yang turut ikut merekomendasikan agar limbah FABA dicabut dari kategori limbah B3 beralasan, bahwa implementasi perubahan regulasi ini sudah dinilai tepat karena beranggapan dapat meminimalisir potensi menimbulkan korupsi karena biaya pengelolaan limbah B3 termasuk tinggi.

Lalu Bagaimana Respon Perusahaan? Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengungkapkan sudah bernafas lega, setelah bertahun-tahun memperjuangkan agar kedua limbah tersebut keluar dari daftar limbah B3. Respon lain dari Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) menyambut ini dengan kabar baik dan mengatakan, negara maju seperti Eropa dan Jepang sudah memiliki teknologi yang jauh berkembang untuk memanfaatkan FABA.

Menanggapi regulasi baru tersebut, para aktivis lingkungan tak tinggal diam. Bagaimana respon mereka menanggapi ini? Pakar lingkungan dari Universitas Indonesia melayangkan protes dan menilai pemerintah kurang etis dalam menyikapi resiko limbah FABA, padahal limbah ini jelas berdampak negative terhadap kesehatan. Sebelumnya pada tahun (2019) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 10 PLTU batu bara yang tercatat menyumbang emisi polusi udara sebanyak 20–30 persen. Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dimana menyebutkan partikel FABA ini mudah terbang sehingga dapat mencemari udara. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan dari Guru Besar Universitas Indonesia yang menjelaskan bahwa abu batu bara dapat menciptakan penyakit pernafasan yang disebut pneumokiosis pekerja tambah, karena terjadi penumpukan elemen yang bersifat anorganik dari limbah batu bara.

Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) menyoroti keputusan penghapusan limbah FABA dari limbah B3. Berdasarkan catatan ICE pada tahun 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P. 10 Tahun 2020 yang berisikan tentang penyederhanaan prosedur uji karakteristik limbah B3 termasuk di dalamnya pengecualian fly ash sebagai limbah B3. Dicabutnya status limbah FABA menjadi limbah non B3 akan melonggarkan pemanfaatan abu batu bara tanpa mengetahui pencemaran yang ditimbulkan. ICEL mendorong pemerintah untuk menghapuskan aturan ini.

Dampak limbah batu bara yang terbang ke udara terhadap kehidupan ekosistem biotik dan abiotic memang cukup krusial. Pengaruh Terhadap Masyarakat? Masyarakat yang tinggal di sekitar daerah PLTU pun tak luput menjadi korban limbah FABA. Tercatat terdapat 14 orang meninggal dunia yang mayoritas disebabkan oleh penyakit pernafasan akibat FABA PLTU batubara di Palu. Edy. Dilansir melalui wawancara di sebuah acara Zomm, Warga Cilegon Banten yang rumahnya dekat dengan PLTU Suralaya, menyatakan “Debu fly ash itu bukan seperti makan cabe, begitu dimakan langsung pedas. Tetapi debu fly ash kalau terhisap oleh manusia itu prosesnya satu tahun sampai dua tahun”.

Polemik penghapusan limbah FABA ini memang tak luput dari persoalan politik di Indonesia. Direktur Indonesia Center for Environmentasl (ICEL) mengkhawatirkan aturan tersebut akan menghilangkan tanggung jawab darurat PLTU dalam pengelolaan limbah FABA sebagai limbah B3. Pengusaha saja masih tetap ‘bandel’ dan seenaknya dengan adanya peraturan, lantas bagaimana jika aturan itu dihapuskan? Akankah alasan penghapusan limbah FABA oleh pemerintah benar didasari oleh alasan nilai ekonomis, atau kedok belaka? Lalu apakah industri PLTU akan benar-benar mengapliksikan momen ini untuk mendorong perekonomian nasional? Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan, jika memang FABA memiliki nilai ekonomis harusnya regulasi yang dikeluarkan itu memperkuat pemanfaatan, bukan malah mengeluarkannya dari kategori limbah B3.

Kami dari Lingkungan BEM KM UNNES menyatakan, sikap pemerintah yang telah mengeluarkan limbah FABA dari daftar golongan B3 sungguh diluar kendali dan tidak tepat sasaran. Apalagi disaat pandemic Covid-19, dimana masyarakat sangat berhati-hati dengan kesehatan pernafasannya, namun pemerintah malah memberikan ruang dengan mengorbankan kesehatan masyarakat di sekitar industri PLTU. Melalui tulisan ini, kami berharap agar pemerintah dapat memasukkan kembali FABA sebagai bagian dari daftar golongan limbah B3. Pemerintah juga harus memikirkan dampak lingkungan dan kesehatan masyarakat disamping memikirkan permintaan para pengusaha industri PLTU Batu Bara.

Referensi

Abdi, A., P. dan Prabowo, H., 2021, https://tirto.id/pemerintah-mengorbankan-warga-coret-abu-batu-bara-dari-limbah-b3-ga7E, (Diakses pada 21 Maret 2021).

Al Faqir, Anisyah, 2021, https://www.liputan6.com/bisnis/read/4504952/dirut-ptba-arviyan-arifin-negara-maju-memanfaatkan-limbah-batu-bara-jadi-semen, (Diakses pada 21 Maret 2021).

CNN Indonesia, 2021, https://news.detik.com/berita/d-5498667/kpk-jelaskan-soal-rekomendasi-ke-jokowi-hapus-abu-batu-bara-dari-limbah-b3, (Diakses pada 21 Maret 2021).

CNN Indonesia, 2021, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190716161616-20-412627/walhi-10-pltu-batu-bara-sumbang-30-persen-polusi-jakarta, (Diakses pada 21 Maret 2021).

CNN Indonesia, 2021, https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210316175810-199-618300/pakar-ui-kritik-jokowi-hapus-batu-bara-dari-limbah-berbahaya, (Diakses pada 21 Maret 2021).

DetikNews. 2021. PP Ciptaker Hapus Abu Batu Bara dari Daftar Limbah Bahan Berbahaya Beracun. https://news.detik.com/berita/d-5490466/pp-ciptaker-hapus-abu-batu-bara-dari-daftar-limbah-bahan-berbahaya-beracun/1 (Diakses pada 24 Maret 2021)

DetikNews. 2021. KPK Jelaskan Soal Rekomendasi ke Jokowi Hapus Abu Batu Bara dari Limbah B3. https://news.detik.com/berita/d-5498667/kpk-jelaskan-soal-rekomendasi-ke-jokowi-hapus-abu-batu-bara-dari-limbah-b3 (Diakses pada 24 Maret 2021)

Lumbanrau, Raja Eben, 2021, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56324376, (Diakses pada 21 Maret 2021).

Sulistyowati, Nurul Aini, 2013, Bata Beton Berlubang dari Abu Batu Bara (Fly Ash dan Botton Ash) yang Ramah Lingkungan, Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan, Vol 15 (1) : 87–96.

Tim Detik, 2021, https://news.detik.com/berita/d-5498667/kpk-jelaskan-soal-rekomendasi-ke-jokowi-hapus-abu-batu-bara-dari-limbah-b3, (Diakses pada 21 Maret 2021).

Ummah, A., 2021, Anak Usaha BUMI Jadi Pelopor Pemanfaatan Limbah Batu Bara, (Diakses pada 21 Maret 2021).

Winarno, H., Muhammad, D., Ashyar, R., Wibowo, Y., G., 2019, Pemanfaatan Limbah Fly Ash dan Bottom Ash dari PLTU SUMSEL-5 sebagai Bahan Utama Pembuatan Paving Block, Jurnal Teknika, Vol 11 (1) : 1067–1070.

--

--

Walah Unnes
Walah Unnes

Written by Walah Unnes

Media Informasi Kementerian Lingkungan Hidup BEM KM UNNES 2022

No responses yet