Pertalian antara HAM, Ekspansi Kapitalisme, dan Krisis Sosio-Ekologis (Tulisan Singkat Peringatan Hari HAM 2021)
Oleh Ardhiatama Purnama Aji, Menteri Lingkungan Hidup BEM KM UNNES 2021
Hari ini, kita sebagai manusia sekaligus warga dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) ke-73. Hari HAM kita peringati untuk merefleksikan kembali tonggak penting penegakan HAM di koridor internasional.
Tak lain, ia adalah pencetusan The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal HAM) oleh Eleanor Roosevelt pada 10 Desember 1948. Bukan tanpa musabab, deklarasi tersebut menjelma rujukan pelaksanaan HAM internasional, atau, indikator keseriusan negara dalam keharusan menerapkan HAM.
Seputar HAM dan Lingkungan Hidup
Lantas, HAM itu apa sih? HAM merupakan konsep atas kebebasan dan perlindungan fondasional yang kita miliki sejak dilahirkan. HAM ini melesap dalam diri kita, tidak mengacu pada kewarganegaraan, gender, orientasi seksual, suku, agama, warna kulit, kepercayaan, bahasa, atau pula status dan identitas lain. Dari situ, setidaknya ada tiga contoh HAM yang bersifat mutlak atau absolut.[1]
Pertama, hak untuk bebas dari penyiksaan/perlakuan/hukuman yang keji atau tak manusiawi, dan hak untuk bebas dari eksperimen medis tanpa persetujuan. Kedua, hak untuk bebas dari kerja paksa dan perbudakan. Ketiga, hak untuk diakui secara setara di depan hukum.[2] Nah, ketiga poin tadi mungkin memuat beberapa ihwal yang masih abstrak untuk dipahami.
Berikutnya, izinkan saya membawa pembahasan tentang ihwal yang lebih spesifik dan khusus, yakni HAM atas Lingkungan Hidup. Dalam perkembangan diskursus HAM, empat generasi memiliki corak isu yang berbeda-beda.[3] Generasi pertama membawa gagasan HAM pada domain hukum dan politik. Generasi kedua menjadikan isu HAM kian melebar dengan adanya tuntutan hak-hak sosio-ekonomis dan kultural.
Generasi ketiga menghadirkan kombinasi dari isu yang dibawa dua generasi sebelumnya, namun dibalut dengan terma The Rights of Development (hak-hak atas pembangunan). Dan isu lingkungan hidup baru diusung oleh generasi keempat. Generasi ini mengkritik hegemoni peran negara dalam pembangunan ekonomi. Dan karena hegemoni tersebut, dampak buruk membuncah kepada kesejahteraan rakyat dan lingkungan hidup yang layak.[4]
Di Indonesia, peraturan yang mengatur HAM adalah Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999. UU ini menyebutkan macam-macam HAM yang diproteksi oleh negara, yakni hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.[5]
Secara interpretatif, muatan UU tersebut bisa dikatakan amat relevan dengan aspek lingkungan hidup. Sebab secara bahasa, “lingkungan hidup” dimaknai sebagai kesatuan ruang dengan segala benda, kondisi, daya, dan makhluk hidup, mencakup manusia dan tingkah lakunya yang memengaruhi kesejahteraan dan perikehidupan manusia serta eksponen biotik yang lain.[6]
Kebijakan Pemerintah dan Ekspansi Kapitalisme
Nah, dalam konteks historis, persoalan yang dihadapi generasi keempat tersebut direpresentasikan oleh rezim Suharto, atau yang biasa dikenal dengan Orde Baru. Sepanjang kekuasaannya, Suharto terus menggalakkan modernisasi dan industrialisasi sebagai motor ekspansi kapitalisme.
Konsekuensinya, kondisi lingkungan kawasan pedesaan atau lingkup lokal terus dibayangi ancaman kerusakan. Sebab, area kecil tersebut menjelma eksponen paling lemah dalam kepemilikan sumber daya ekonomi, tak terkecuali kondisi ekologis dan komunitasnya.[7]
Sialnya, eksploitasi unsur manusia dan apropriasi unsur non-manusia dilakukan secara terbuka lewat instrumen hukum. Bahkan, instrumen hukum tersebut dibuat sejak dalam permulaan rezim Suharto, maujud sebagai UU №1 Th. 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), UU №5 Th. 1967 tentang Kehutanan, UU №11 Th. 1967 tentang Pertambangan, dan UU №11 Th. 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).[8]
Di sektor ekonomi, corak kebijakan Suharto itu melejitkan nilai investasi di Indonesia. Pada 1986, nilai investasi modal asing mulai menyentuh Rp 825,2 milyar. Berselang empat tahun, nilai investasi modal asing naik sampai Rp 8.750,1 milyar. Sisi lain, investasi modal dalam negeri nilainya lebih gila-gilaan. Yang mulanya bernilai Rp 4.416,7 milyar pada 1986, kemudian meningkat hingga Rp 59.878,4 milyar pada 1990.[9]
Ekspansi kapital yang bertebaran secara ugal-ugalan di atas tentunya membawa implikasi lain, yakni krisis sosio-ekologis. Menurut Bosman Batubara dkk, krisis sosio-ekologis ialah krisis yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme. Meski begitu, setelah mengkaji lebih cermat dan mendalam, mereka mengonklusikan bahwa krisis sosio-ekologis adalah prasyarat dari proses aktivitas kapitalisme.[10]
Krisis Sosio-Ekologis di Sekitar Ekspansi Kapitalisme
Jika ditelisik secara terminologis dan leksikal, krisis sosio-ekologis berasal dari tiga kata: “krisis”, “sosial”, dan “ekologis”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “krisis” berarti keadaan yang berbahaya, genting, suram, dan/atau kemelut. Lalu, “sosial” adalah kata adjektiva yang berkenaan dengan masyarakat.
Dan terakhir, “ekologis” adalah kata adjektiva yang berkaitan dengan ekologi, seputar interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Jadi bisa kita konklusikan, krisis sosio-ekologis merupakan keadaan genting/suram baik bagi sekelompok manusia maupun relasi makhluk hidup secara luas dengan lingkungannya.
Nah, gambaran krisis sosio-ekologis ini benar-benar menjadi kenyataan karena kebijakan rezim Suharto yang kapitalistik. Pada 1970-an, setelah UU PMA dan PMDN berlaku, sejumlah korporasi membuncahkan pencemaran lingkungan. Di Majalengka, sehimpun petani melakukan protes terhadap Perseroan Terbatas (PT) United Chemical Industry (UCI). Mereka mendapati PT UCI tersebut mencemari saluran irigasi dengan limbah pabrik kimia.[11]
Di Surabaya, PT Pakabaya, PT Jayabaya, PT Spindo, dan PT Surabaya Wire juga mencemari Sungai Surabaya Kecamatan Driyorejo dengan limbah mereka masing-masing.[12] Pada Mei 1992, pabrik tekstil PT SWS dituntut oleh 46 kepala keluarga dari Kampung Pasirpogor, Desa Padaulun, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Mereka menuntut karena PT SWS telah mencemari udara dengan bau tak sedap selama 24 jam non-stop. Akibat alih fungsi lahan PT SWS pula, air kawasan tersebut telah bersalin warna.[13]
Pada 1993, ekspansi industri terjadi pula di Jawa Tengah, tepatnya sekitar pantai utara Kota Semarang-Kendal. Kali ini, pelakunya adalah PT Kayu Lapis Indonesia (KLI). PT KLI mencemarkan polutan cair, debu, padat, gas, dan kebisingan.
Limbah cair itu berupa urea, melamin, amonia, phenol, formalin, dan NaOH. Limbah debunya berwujud serbuk gergaji dan jelaga sisa pembakaran serbuk tersebut. Debu gergaji itu berceceran di tambak-tambak dan permukiman warga. Setelah itu, debu menumpuk, membusuk, dan menjadi mikroorganisme yang menurunkan kualitas tambak.[14]
***
Dengan keberadaan sejumlah pabrik — yang mengorkestrasikan ekspansi kapitalisme — di atas, krisis sosio-ekologis berupa pencemaran lingkungan pun terjadi dan mengganggu kehidupan warga setempat. Para petani Majalengka, yang menyandarkan kegiatan agrarisnya pada air, harus berurusan dengan limbah kimia PT UCI.
Di Majalaya Bandung, kehidupan warga Kampung Pasirpogor diganggu oleh bau tak sedap PT SWS, pun air sekeliling mereka bersalin rupa setelah keberadaan pabrik tekstil tersebut. Warga sekaligus petambak di pantai utara Semarang-Kendal juga harus menghadapi beraneka polutan PT KLI. Artinya, hak mereka untuk hidup terancam. Hak mereka atas kesejahteraan dikangkangi oleh korporasi. Dan boleh dibilang, hak mereka untuk memperoleh keadilan turut diingkari.
Pada akhirnya, kita dapat melihat dan merefleksikan beberapa ihwal yang berkelindan ini. Keuntungan yang diraup oleh segelintir orang lewat ekspansi kapitalisme, kerap kali, menumbalkan HAM atas lingkungan hidup warga di lingkup lokal sekitarnya. Kenapa? Karena krisis sosio-ekologis adalah prasyarat dari aktivitas dan ekspansi kapitalisme tersebut.
Catatan Akhir
[1] https://www.amnesty.id/hak-asasi-manusia-kenalan-sama-ham-yuk/ (diakses pada 9 Desember 2021)
[2] Ibid.
[3] Junior Gregorius, ”Hak Asasi Manusia (HAM) atas Lingkungan Hidup (Suatu Refleksi Sosio-Yuridis atas Implementasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan)”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Th. 39 №3, (Juli-September 2009), hlm. 286
[4] Ibid., hlm. 287
[5] Ibid., hlm. 289
[6] Ibid., hlm. 290
[7] Noer Fauzi, Petani & Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 155
[8] Boy Sembiring, Bagas Kausan, Tanti Suryani, Ekonomi Nusantara: Tawaran Solusi Pulihkan Indonesia. (Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI, 2021), hlm. 6
[9] Kompas, 26 Mei 1992
[10] Bosman Batubara et al., Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Semarang-Demak, (Bantul: Lintas Nalar, 2020), hlm. 17
[11] Nawiyanto, “Berjuang Menyelamatkan Lingkungan: Gerakan Lingkungan di Jawa Masa Kemerdekaan 1950–2000”, Jurnal Paramita, Vol. 25 №1, (Januari 2015), hlm. 61
[12] Nawiyanto, loc. cit.
[13] Kompas, 6 Mei 1992
[14] Radjimo Wijono dan Tandiono Purbaya, Potret Buram Industrialisasi di Jawa: Main Kayu Pembangunan, (Semarang: LBH Semarang; Mesiass; Fokalis, 2004), hlm. 54