Polemik Tempat Pembuangan Akhir Sampah Pada Masyarakat : Bagaimana Manajeman TPA dan Kemanakah Sampah-Sampah Itu?
Oleh Muhamad Iqbal & Vinasya Adella Ahyuni Kementerian Lingkungan Hidup BEM KM UNNES 2022
Tempat pemrosesan akhir (TPA) adalah tempat untuk memproses dan mengembalikkan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. Pengelolaan sampah di Indonesia telah diatur dalam undang-undang №18 Tahun 2008. Tidak bisa kita pungkiri bahwa manusia hidup didunia dan menempati bumi sebagai pijakannya pasti menghasilkan sampah setiap harinya. Jenis sampah dibedakan menjadi dua, yakni sampah organik dan sampa anorganik. Sampah organik berasal dari sisa-sisa organisme hidup baik manusia, hewan, dan tumbuhan. Sedangkan sampah anorganik berasal dari organisme tidak hidup.
Indonesia pernah menduduki peringkat ke-2 penghasil sampah terbesar di dunia setelah China yakni sebanyak 3,22 juta metrik ton. Seperti yang kita ketahui, sampah anorganik termasuk jenis sampah yang berbahaya karena tidak bisa terurai. Pada tempat pembuangan akhir sampah pun, sampah-sampah anorganik itu semakin menggunung. Dilansir dari data Sustainable Waste Indonesia (SWI) dari 65 juta ton sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia setiap harinya, hanya 7% sampah yang didaur ulang, sementara 69% sisanya berakhir di TPA. Data dari SWI juga menunjukkan kurang dari 10% sampah plastik didaur ulang dan 50% sisanya berakhir di TPA.
Sebenarnya bukan hanya penggalakkan tentang kita sebagai manusia harus mengurangi aktivitas yang menghasilakan sampah terlalu banyak, melainkan pemerintah juga harus memperhatikkan tempat pemrosesan akhir sebagai pengholahannya. Tidak semua daerah di Indonesia memiliki tempat pembuangan akhir yang memadai, bahkan di beberapa wilayah ada juga yang hanya disediakan lahan kosong oleh pemerintah tanpa adanya sarana dan prasarana untuk menunjang pengholahan atau manajemen staff dan sampah-sampah yang telah dibuang di tempat tersebut.
Pada 22 Mei 2020 sebagian gunungan sampah di TPA Cipeucang di Tangerang Selatan, Jawa Barat, longsor karena tembok pembatas yang tak lagi bisa menahan bobot sampah. Longsoran sampah TPA Cipeucang tersebut menutupi sebagian aliran Sungai Cisadane yang hanya berjarak kurang lebih 23 km dari sumber Bendungan Pintu Air 10 yang juga merupakan 4 titik intake air minum Aetra Tangerang. (Baca Penanganan Dampak Longsornya Gunungan Sampah TPA Cipeucang, Tangerang Selatan, Indonesia). Dikabarkan dari Kompas.com bahwa proses pengerukan sampah dari Sungai Cisadane menyebarkan bau tidak sedap yang cukup mengganggu, sehingga Dinas Pemadam Kebarakan Kota Tangerang Selatan harus menyemprotkan bahan kimia selama proses berlangsung.
Menurut kabar terakhir di Juni 2020 dari pikiranrakyat.com, kejadian longsornya TPA Cipeucang ini sedang diproses oleh Kejari Tangsel setelah adanya laporan dugaan penyalahgunaan dana untuk pembangunan tembok pembatas yang akhirnya roboh padahal belum setahun sejak dibangun. Mulai diresmikan sejak 8 tahun lalu, kejadian longsornya TPA Cipeucang pada Mei 2020 lalu dikatakan bukanlah yang pertama kalinya. Dinding pembatas TPA Cipeucang juga pernah jebol dan menyebabkan longsoran sampah pada April 2019.
Tidak hanya TPA Cipeucang, Tangerang Selatan yang mengalami urgensi untuk segera diperbaiki, menurut daya tampungnya TPA-TPA dibawah ini juga sudah terancam penuh (Gambar 2).
Dalam undang — undang nomor 8 tahun 2018 tentang penyelenggaraan pengelolaan sampah secara terpadu dan komprehensif, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, serta tugas dan wewenang Pemerintah dan pemerintahan daerah untuk melaksanakan pelayanan publik (Akay et al., 2021). Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Namun, pada kenyataannya dalam beberapa kasus TPA hanya sebagai tempat pembuangan akhir tanpa penanganan dan pengelolaan lebih lanjut (Agung et al., 2021). Hal ini mengakibatkan pencemaran lingkungan yang berdampak terhadap ekosistem maupun masyarakat di sekitar TPA.
Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematik menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Sistem pengumpulan sampah adalah cara atau proses pengambilan sampah mulai dari tempat pewadahan sampah (sumber timbulan sampah) sampai ke tempat pengumpulan sementara (TPS) atau stasium pemindahan atau langsung ke tempat pembuangan akhir (TPA). Beberapa masalah yang berhubungan dengan pengelolaan sampah biasanya meliputi :
1. Produksi sampah,
2. Minimalisasi sampah,
3. Pembuangan sampah,
4. Pengangkutan sampah,
5. Pengolahan sampah,
6. Daur ulang dan penggunaan kembali sampah,
7. Menyimpan sampah, pengumpulan, dan pengangkutan,
8. Pengolahan sampah, dan
9. Pembuangan sampah di TPA.
Sarana atau fasilitas fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah. Pada tahap pembuangan akhir, sampah akan mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia, maupun biologis sedemikian rupa hingga tuntas penyelesaian seluruh proses. Dengan alasan tersebut maka saat ini TPA disebut sebagai tempat pemrosesan terakhir. Tempat pembuangan akhir (TPA) sering juga disebut Landfill. Landfill ialah tempat pembuangan sampah yang memiliki dasar “impermeable” (tidak tembus air) sehingga sampah yang diletakkan tidak akan merembes hingga mencemari air dan tanah disekitar. Sampah-sampah yang datang diletakkan secara berlapis, dipadatkan dan ditutupi dengan tanah liat untuk mencegah datangnya hama dan bau.
Swedia termasuk negara yang berhasil mencapai tingkat daur ulang hingga 47% (tertinggi adalah Jerman dengan tingkat daur ulang 56,1% di 2020). Sistem pengelolaan sampah di Swedia termasuk yang paling efisien dan efektif, hingga mereka harus mengimpor sampah agar industri daur ulangnya tetap berjalan. Pada awal tahun 1990-an, Swedia memiliki 400 TPA, tapi saat ini jumlahnya berkurang hingga 140. Sebagian besar sampah residu penduduk Swedia diproses di 34 fasilitas insinerasi atau fasilitas Waste to Energy yang tersebar di Swedia. Disebutkan bahwa 2.000 ton sampah residu yang diinsinerasi di fasilitas WTE Swedia dapat menghasilkan energi setara 670.000 ton minyak bumi. Untuk negara dengan iklim dingin, energi yang dialihkan untuk mesin penghangat dan listrik tersebut tentu sangat penting.
Proses insinerasi dan waste-to-energy sempat mengundang kontroversi karena insinerasi dikatakan bukanlah daur ulang dan proses pembakaran sampah tersebut disinyalir masih melepaskan sejumlah zat berbahaya ke udara. Beberapa sumber memang menyatakan proses insinerasi di fasilitas Waste to Energy Swedia dikatakan sudah aman dan meminimalisir jumlah dioksin yang terlepas ke udara, namun fakta bahwa Swedia dikatakan menerima jasa insinerasi sampah dari negara lain juga mengundang cukup banyak pro dan kontra.
Referensi:
Agung, K., Juita, E., & Zuriyani, E. (2021). Analisis Pengelolaan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Desa Sido Makmur Kecamatan Sipora Utara. JPIG (Jurnal Pendidikan Dan Ilmu Geografi), 6(2), 115–124. https://doi.org/10.21067/jpig.v6i2.5936
Akay, R., Kaawoan, J. E., & Pangemanan, F. N. (2021). Jurnal Governance. Disiplin Pegawai Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik Di Kantor Kecamatan Tikala, 1(1), 1–8.
Amanda.B. (2020, Agustus 16). Melihat Kondisi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah di Luar Negeri.waste4chance. https://waste4change.com/blog/tpa-sampah-luar-negeri/
Amanda.B. (2020, Agustus 30). TPA Penuh di Indonesia. waste4chance. https://waste4change.com/blog/kondisi-tpa-penuh-indonesia/