Mengevaluasi Pandangan terhadap Banjir lewat Buku BSNS: Permulaan, Respons Warganet, dan PEU (Bagian 1)

Walah Unnes
8 min readDec 23, 2021

--

Oleh Ardhiatama Purnama Aji, Menteri Lingkungan Hidup BEM KM UNNES 2021

Gambar diunduh dari akun Instagram @banjirsemarang

Judul : Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS di Semarang

Penulis : Bosman Batubara, Bagas Yusuf Kausan, Eka Hendriana, Syukron Salam, dan Umi Ma’rufah

Penerbit : Cipta Prima Nusantara dan Koalisi Maleh Dadi Segoro

Cetakan : Pertama, Desember 2021

Tebal Buku : xx+351 halaman

Permulaan

Salam, Kawan-Kawan! Sebelum membahas buku Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS di Semarang (BSNS), izinkan saya bercerita tentang pengalaman saya dan kawan-kawan ketika banjir mendera Kota Semarang awal Februari silam.

Pada 5–7 Februari 2021, banjir merendam Kota Semarang. Pada saat yang nyaris bersamaan, saya dengan teman-teman Kementerian Lingkungan Hidup (LH) BEM KM UNNES baru saja berhimpun. Dengan membawa semangat perubahan pada tubuh Kementerian LH, kami harus kelimpungan karena langsung berhadap-hadapan dengan bencana — ekologis, tapi sering disebut — alam tersebut.

Di tengah proses pembentukan kementerian (menyusun program kerja, membikin akun media sosial, dan menghidupkan situs web sebagai tempat kajian kami terbit), kami bergegas mengumpulkan sumber untuk membuat kajian tentang banjir yang mendera Semarang. Selanjutnya, dua pegiat Kementerian LH, Friska Dyah Safitri dan Nora Amalia yang mengeksekusinya.

Kenapa hanya buat kajian? Sebab, tugas di garda paling depan sudah dijalankan oleh para penggawa Kementerian Sosial Masyarakat BEM KM UNNES. Kawan-kawan kami tersebut menggalang dana-dukungan dan mengantarkannya kepada para korban terdampak banjir. Tak pelak, kamilah yang bertanggung jawab untuk menjelaskan bencana banjir dan menuangkannya dalam bentuk kajian. Dengan kata lain, tugas kami adalah bertarung di domain diskursif.

Friska dan Nora pun menuliskan kajian bertajuk “Kerentanan Semarang terhadap Banjir Tak Melulu tentang Intensitas Hujan” yang terbit pada 12 Februari 2021.[i] Dalam kajian tersebut, Friska dan Nora mencoba untuk menguraikan sejumlah faktor banjir merendam Kota Semarang.

Mereka berdua mengatakan, peningkatan jumlah penduduk Kota Semarang dan aktivitas ekonomis menjelma akar masalah. Kedua ihwal itu mendorong ekstraksi air tanah yang berlebih, pembukaan lahan yang mencocor area resapan air, dan pembangunan berskala besar di kawasan pesisir.

Untuk menandaskan kajian, Friska dan Nora turut memberikan pandangannya tentang penyelesaian masalah banjir di Kota Semarang. Mereka mendesak pemerintah untuk memperbaiki pemanfaatan lahan hijau di kawasan hulu dan melaksanakan re-evaluasi terhadap penataan ruang Kota Semarang. Tak hanya itu, mereka juga menuturkan, percepatan dan perluasan area hutan mangrove perlu dilakukan.

Sebagai manusia biasa yang masih terus belajar di dunia, wenak, Friska dan Nora tentunya masih luput untuk menjelaskan banjir Kota Semarang secara komprehensif. Sekalipun, mereka telah menguarkan suatu pandangan lain mengenai banjir, yang tak melulu berkutat pada tingginya intensitas curah hujan, tapi disebabkan pula oleh tingginya intensitas pembangunan.

Nah, buku yang saya ulas ini dapat menjadi sumber bacaan yang lengkap dan rigid tentang banjir di Kota Semarang. Bukan karena ketebalannya saja, buku ini memuat pula latar belakang, perspektif ekologi politis, dan penjelasan cukup komplit terkait konteks yang ada di serangkaian daerah aliran sungai (DAS) Kota Semarang. Penasaran, enggak? Kalau iya, mari simak ulasan ini lebih lanjut!

BAB I #BANJIRSEMARANG: Netizen: Yakin karena hujan deras?

Bab I yang berjudul “#BANJIRSEMARANG: Netizen: Yakin karena hujan deras?” mengawali buku ini dengan cara yang, bagi saya, cukup unik untuk sekelas bacaan ilmiah tentang lingkungan. Betapa tidak, penulis menyertakan analisis mengenai respons warganet di media sosial. Boleh dibilang, hal itu menjadi wujud aspiratif dari keresahan masyarakat berbagai lapisan, yang rupanya mulai kritis terhadap depolitisasi perkara banjir oleh pemerintah.

Dari bab pertama pula, saya meninterpretasikan depolitisasi sebagai tanggapan suatu pihak terhadap banjir yang hanya berkutat pada isu-isu teknis. Misalnya, beberapa pihak (kebanyakan pemerintah) menyebut banjir terjadi karena curah hujan yang tinggi dan pompa polder yang tidak bekerja semestinya.

Maka, dia juga akan menyodorkan solusi banjir di seputar penerapan teknologi “mutakhir” dan pembangunan sarana-prasarana lebih banyak, seperti pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang-Demak.

Nah, sementara itu, warganet yang kian kritis tadi menunjukkan kekritisannya melalui repolitisasi. Repolitisasi, saya tafsirkan, sebagai tanggapan terhadap banjir dengan mengurai interaksi sekelompok orang kepada suatu ruang demi keuntungan/kepentingan mereka, yang terjadi sebelum banjir.

Misalnya, banjir terjadi karena ketersediaan area resapan air kian hilang. Nah, mereka lantas merunutnya pada pembukaan lahan oleh pemilik proyek perumahan di area hulu DAS, seperti di daerah Semarang atas — Mijen, Gunungpati, dan Tembalang.

Suara-suara warganet yang kian kritis tersebut menjadi titik keberangkatan penulis untuk menulis buku ini. Suara yang mana ik? Ya yang itu, yang seputar pembukaan lahan untuk bikin perumahan. Yang di area hulu DAS tadi lo. Penulis menyebut pembukaan lahan tersebut sebagai urbanisasi.

Urbanisasi memang tidak melulu tentang perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pembukaan kawasan yang awalnya hijau menjadi bangunan-bangunan (seperti perumahan) adalah urbanisasi. Bagi saya, ada hubungannya sih. Kalau penduduk kota makin banyak, area kota (yang saya bayangkan seperti bangunan-bangunan beton) kian melebar juga, bukan? Makanya. Wa-ka-ka-ka-ka.

Lanjut! Dari kekritisan warganet tentang pembukaan lahan — yang jadi penyebab banjir, penulis hendak mendedah proses urbanisasi di DAS-DAS Kota Semarang. Kalau saya pikirkan sekilas, pembangunan pasti merogoh kocek yang dalam. Bukankah harga tanah dan material bangunan mahal, ya? Para pemilik proyek perumahan di DAS tersebut pun bisa dipastikan dari wong turah dhuwit, alias elit nan kaya raya.

Bayangkan, keuntungan yang orang elit dapat dari membangun perumahan, jebule, menumbalkan banyak orang di kelas sosial bawahnya. Penglihatan proses ekonomi-politik sebagai faktor kerusakan lingkungan seperti itu disebut ekologi politis. Penglihatan — yang saya kira amat tajam — tersebut pula yang akan penulis pakai untuk mendedah urbanisasi. Mantap!

BAB II Ekologi politis urbanisasi

Pada bab kedua yang bertajuk “Ekologi politis urbanisasi”, penulis menjelaskan sebuah pendekatan ekonomi politik untuk merepolitsasi sekaligus menguraikan/mencecar ketimpangan (uneven) di khazanah proses penciptaan ruang kota. Jujur, saat penulis membahas peralihan dari ekologi politis perkotaan — atau urban-political ecology (UPE) — menuju ekologi politis urbanisasi — atau political ecology of urbanization (PEU), isi kepala saya dibuat kopyor.

Saya merasa, penulis sejatinya telah berupaya menyisipkan diksi-diksi yang simpel, tapi diksi-diksi residualnya bikin kepala saya pusing bukan main, misalnya frasa methodological cityism, adjektiva sosiospasial, dan adjektiva sosioalamiah. Tapi setelah saya baca berulang kali, saya sedikit-sedikit mulai memahami. Sedikit. Ha-ha-ha.

Berikutnya, penulis mengklasifikasikan dan menjabarkan tiga perangkat konsep PEU, yakni momen ketimpangan, sosiospasial, dan sosioalamiah.

Perangkat pertama, momen ketimpangan yang selalu menyertai proses urbanisasi kapitalis. Hal ini maujud dalam pembedaan antara kota dan desa. Itu dilakukan secara sengaja untuk membedakan desa dan kota berdasarkan pembangunan karakter yang unik, pembangunan kapitalisme yang dijembatani oleh eksploitasi buruh dan transaksi komoditas.

Sebagai salah satu tingkat skala — yang penulis maktub dari Smith, skala kota adalah produk pembedaan kota-desa; tempat konsentrasi buruh, alat produksi; dan sebagai pusat aliran nilai-guna/pakai di naungan segelintir kapitalis (yang jumlahnya kian mengecil). Skala kota pun akan menyentuh perkembangan klimaksnya ketika pembangunan kapitalistik yang timpang berlangsung.

Pembangunan kapitalistik memang acap menyertakan ketimpangan. Di area Simpang Lima Semarang misalnya. Master Plan Kota Semarang tahun 1975 harus diingkari demi mengakomodasi privatisasi ruang karena tekanan ekonomi. Kawasan ruang publik perlahan diubah menjadi pusat perbelanjaan, seperti Citraland, EP Plaza, dan Plaza Simpang Lima. Secara tak langsung, perubahan tersebut menarik pelaku ekonomi informal dan kemunculan anak-anak jalanan.[ii] Coba bayangkan, pusat-pusat perbelanjaan mewah tersebut dikelilingi oleh anak-anak jalanan. Sungguh timpang.

Dalam kasus banjir di Kota Semarang, penulis mengatakan, ketimpangan dimanifestasikan secara cukup riil. Orang/himpunan orang yang mengendalikan perubahan lingkungan — macam pemilik proyek perumahan atau pengembang/developer — menjelma pihak yang meraup keuntungan, sedangkan mayoritas warga non-pengembang menjadi korban kebanjiran.

Perangkat kedua, momen sosiospasial, kurang lebih, menjelaskan tentang perkotaan yang sebetulnya tidak dapat dibatasi secara absolut dalam lingkup tertentu, lingkup administratif misalnya. Proses urbanisasi atau pengotaanlah yang membuat ihwal kota berjalan dari dua sisi: memusat dan melebar. Satu sisi, kota menjelma pemusatan orang, kegiatan, barang-barang, objek-objek, instrumen-instrumen, dan gagasan-gagasan.

Sementara itu, pelebaran kota maujud sebagai beberapa bagian yang menyebar di sekitar ruang urban, seperti pinggiran, area suburbia, villa tetirah, dan kota-kota satelit. Dengan meminjam frasa Lefebvre, penulis menyematkan urban problematique kepada pemusatan-pelebaran tersebut dan menyebutkan, akar fokusnya sama dengan telaah Marx dan Engels mengenai proses menyubordinasikan area pedesaan oleh kepentingan kota.

Dalam logika pembangunan kapitalistik, perdesaan, secara sadar, dilihat dan dijadikan ruang operasional untuk melayani keperluan kota, seperti buruh dan bahan baku produksi. Dengan perangkat momen sosiospasial ini, saya teringat pula dengan Kota Surakarta, atau yang acap disebut Solo.

Dari yang saya alami dan dapati, warga eks-Karesidenan Surakarta menjadikan Solo sebagai ruang urban yang kerap dituju untuk berkuliah dan berbelanja secara hedonistik. Nah, barangkali, karena Solo memiliki banyak fasilitas pendidikan dan ekonomi yang lengkap, ia menjadi tempat tujuan yang “ideal”. Tak ayal, Solo menjelma kota terpadat di Jawa Tengah dengan kepadatan 11.431 orang per kilometer persegi pada 2010.[iii]

Dengan luas hanya 44 km², area urban Solo terus melebar ke area luar dan mencapai 150 km², mencakup: Kecamatan Ngemplak (Boyolali), Colomadu, Palur (keduanya Karanganyar), Kartasura, dan Baki (keduanya Sukoharjo). Pada 1990-an, untuk menjembatani (dan memperoleh keuntungan dari) pelebaran area urban Solo, PT Pondok Solo Permai mulai membangun Solo Baru, semacam kota satelit di atas lahan seluas 200–250 Ha di Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo.[iv]

Perangkat ketiga, momen sosio-alam. Penulis memakai perangkat ini guna menguraikan relasi antara manusia dan non-manusia dalam naungan kapitalisme. Perangkat satu ini memberikan pandangan yang kurang biasa kita temui. Kita acapkali memisahkan unsur manusia dengan alam (non-manusia). Padahal, pandangan seperti itu, bagi penulis, memberi jalan borjuis untuk memperlakukan non-manusia seenak jidat.

Satu sisi, penulis juga membenturkan sejumlah gagasan tentang peran manusia dan non-manusia untuk menciptakan nilai-lebih dalam kapitalisme. Karena tiap-tiap penggagas memiliki perbedaan dalam gagasannya. Marx menggagas konsep tentang metabolisme, pondasi tempat alam dan sosial bersaling-silang.

Contohnya, metabolisme sosioalamiah bekerja pada penurunan kualitas tanah perdesaan (alam) yang disebabkan oleh aktivitas pertanian oleh petani (sosial). Lantas, tanah (alam) menjadi tidak subur, panen berkurang, dan petani (sosial) pun merasakan imbasnya. Sementara itu, metabolisme sosial tampak pada eksploitasi kelas buruh (yang jumlahnya kian membludak). Sisi lain, hal itu diharapkan kapitalis untuk terus berproduksi dan bertahan.

Penulis kemudian mencoba untuk memecahkan misteri daripada kritik Swyngedouw kepada Neil Smith, yang mengenai ketiadaan identifikasi uraian peran non-buruh atau non-manusia dalam proses menciptakan nilai-lebih di bawah kapitalisme. Lewat konsep “relasi-nilai” oleh Jason Moore, penulis memformulasikan valorisasi (penggandaan) kapital dengan menambah variabel dua blok: eksploitasi buruh dan apropriasi yang murah terhadap non-buruh, makanan, energi, dan bahan mentah.

Sebentar, saya sudah baca ketiga kali dan masih pusing. Nah, kira-kira, tiga perangkat ekologi politis urbanisasi, yang saya ulas di atas, akan penulis hadirkan untuk menjawab, atau pula, memolitisasi ulang persoalan banjir Semarang. Bagian 2 lanjut nanti, ya, Lur! Stay tuned and in touch, Guys! Intine, enteni!

Catatan Akhir:

[i] Friska Dyah Safitri dan Nora Amalia, Kerentanan Semarang terhadap Banjir Tak Melulu tentang Intensitas Hujan, Walahunnes.medium.com: https://walahunnes.medium.com/kerentanan-semarang-terhadap-banjir-tak-melulu-tentang-intensitas-hujan-11855f31a95 (diakses pada 21 Desember 2021)

[ii] Ardhiatama Aji dan Bagas Kausan, “Komunitas Satoe Atap: Produksi Ruang Sosial bagi Anak Jalanan di Kawasan Simpang Lima”, Jurnal Analisa Sosiologi, Vol. 9 Edisi Khusus Sosiologi Perkotaan, (Februari 2020), hlm. 100–101

[iii] Ukky Primartantyo, Surakarta Kota Terpadat di Jawa Tengah, Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/251519/surakarta-kota-terpadat-di-jawa-tengah (diakses pada 22 Desember 2021)

[iv] Hadi Wahyono et al., “Collaborative Planning on Cross-Border Service of Water Supply in Surakarta Urban Border Area, Indonesia”, The Indonesian Journal of Planning and Development, Vol. 1 №1, (September 2014), hlm. 14

--

--

Walah Unnes
Walah Unnes

Written by Walah Unnes

Media Informasi Kementerian Lingkungan Hidup BEM KM UNNES 2022

No responses yet